Jumat, 09 Desember 2011

Ketika Masa Depan Tergadaikan


Ketika Masa Depan Tergadaikan

Saat itu dengan meneteskan air mata ibu berkata, “Nak, maafkan ayah dan ibu jika tidak sanggup membiayaimu ke bangku kuliah”. Kulihat ibu menatapku dengan mata berkaca-kaca, sangat dalam dan penuh makna. Hanya itu yang dia ucapkan lalu terdiam. Kulihat bibirnya kaku, pucat pasi. Aku tahu dia pasti berat mengatakan ini. Sepertinya dia ingin aku tahu kalau ayahku sudah tidak sanggup lagi bekerja membanting tulang, memeras keringat, dan merelakan punggungnya dibakar sang matahari. Akupun terdiam menatap langit-langit rumah, sinar matahari menembus melalui luang-lubang kecil di atap, mengenai wajahku. Aku membayangkan masa depanku jika aku harus berhenti sampai di sini. Ku palingkan wajahku dari langit-langit, lalu menatap ayah. Ia hanya terdiam, terlihat jelas di matanya beban-beban kehidupan yang selama ini harus  ia tanggung, menghidupi kami sekeluarga. Dahinya dipenuhi kerutan karena tiap hari ia memutar otak bagaimana supaya anak-anaknya bisa sekolah. Tidak kenal siang ataupu malam, tak mengerti lelah. Sepertinya hatinya berontak, perlahan air mataku menetes, hatiku seakan tersayat, perih kurasa. Ayah dan ibuku mungkin tidak pernah tahu kalau selama ini aku selalu berpikir untuk melepaskan mereka dari belenggu. Belenggu dari tuntutan-tuntutan yang harus mereka penuhi di tengah mahalnya harga sebuah pendidikan di negeri ini. (sumber : Majalah Fellowship 2010 dengan beberapa perubahan oleh penulis)
Itulah sepenggal cerita yang menggambarkan suasana batin yang teramat kacau akibat betapa tingginya harga sebuah gelar sarjana. Pendidikan hari ini sangat mahal. Ini merupakan fakta yang sulit terbantahkan. Mulai dari jenjang TK, SD, SMP, SMA hingga ke perguruan tinggi, persoalan biaya menempati rangking pertama dari sekian banyaknya persoalan pendidikan kita.
Pendidikan telah menjadi momok yang menakutkan, terutama di kalangan masyarakat ekonomi rendah atau di bawah garis kemiskinan. Sementara jumlah masyarakt miskin di Indonesia pada tahun 2010 mencapai 31,02 juta jiwa atau sekitar 13,3% dari total penduduk Indonesia sebesar ±230 juta jiwa. Itupun masih menggunakan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang masih simpang siur kevalidannya. Artinya, masih ada lebih dari 31 juta penduduk yang trauma untuk menatap pesona pendidikan dan masa depan yang seolah-olah tergadaikan. Lantas pantaskah mereka mengenyam pendidikan di negeri sendiri? Ataukah memang pendidikan hanya untuk orang-orang berduit saja?
Lucunya lagi, dengan biaya super mahal lantas tidak membuat indeks kualitas pendidikan di Indonesia membaik. Indeks pembangunan pendidikan untuk semua atau education for all di Indonesia justru menurun. Jika pada 2010 lalu Indonesia berada di peringkat 65, tahun ini merosot ke peringkat 69. Berdasarkan data dalam Education For All (EFA) Global Monitoring Report 2011: “The Hidden Crisis, Armed Conflict and Education” yang dikeluarkan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang diluncurkan di New York, Senin (1/3/201) waktu setempat, indeks pembangunan pendidikan atau education development index (EDI) berdasarkan data tahun 2008 adalah 0,934. Nilai itu menempatkan Indonesia di posisi ke-69 dari 127 negara di dunia.
EDI dikatakan tinggi jika mencapai 0,95-1. Kategori medium berada di atas 0,80, sedangkan kategori rendah di bawah 0,80. Global Monitoring Report dikeluarkan setiap tahun yang berisi hasil pemonitoran reguler pendidikan dunia. Indeks pendidikan tersebut dibuat dengan mengacu pada enam tujuan pendidikan EFA yang disusun dalam pertemuan pendidikan global di Dakar, Senegal, tahun 2000. Saat ini Indonesia masih tertinggal dari Brunei Darussalam yang berada di peringkat ke-34. Brunai Darussalam masuk kelompok pencapaian tinggi bersama Jepang yang mencapai posisi nomor satu dunia. Adapun Malaysia berada di peringkat ke-65 atau masih dalam kategori kelompok pencapaian medium seperti halnya Indonesia. Posisi Indonesia jauh lebih baik dari Filipina (85), Kamboja (102), India (107), dan Laos (109). Total nilai EDI itu diperoleh dari rangkuman perolehan empat kategori penilaian, yaitu angka partisipasi pendidikan dasar, angka melek huruf pada usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi menurut kesetaraan jender, dan angka bertahan siswa hingga kelas V sekolah dasar (SD). (sumber : www.kompas.com, 2 Oktober 2011)
Lebih fokus lagi, perguruan tinggi juga seakan bersaing dalam mematok harga. Institut Teknologi Bandung memperkirakan pembiayaan sekitar Rp 27 juta/mahasiswa/tahun atau sebesar Rp 108 juta apabila mahasiswa mampu menyelesaikan pendidikan dalam kurun waktu 4 tahun. Jumlah tersebut sudah termasuk BPPM (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan yang dibayar diMuka) sebesar Rp 55 juta dan Rp 80 juta khusus SBM (Sekolah Bisnis dan Manajemen). Hal serupa juga dilakukan oleh universitas-universitas lain di negeri ini. Ketika PTN seolah berubah haluan menjadi pundi bisnis semata, lalu apa yang membedakan antara PTN dan PTS?
Mungkin pemerintah mengelak bahwa mereka telah memberikan bantuan pendidikan bernama bidik misi. Tapi apakah beasiswa itu tepat sasaran? Bidik misi secara maksud dan tujuan memang sudah baik. Tetapi prasyarat untuk mendapatkan beasiswa itu seolah dibuat untuk memberatkan calon penerima yang memang terlanjur miskin. Sempat penulis bertanya kepada salah seorang calon yang ingin mendapatkan beasiswa itu tentang alasan ia tidak jadi mengambil kesempatan tersebut. Singkat ia menjawab bahwa ia tidak mampu melengkapi syarat administrasi. Salah satu contohnya harus melampirkan foto rumah, sedangkan ia tidak memiliki kamera jenis apapun. Ia ingin meminjam, tapi kemana ia harus meminta pertolongan di tengah-tengah pemukiman yang juga menengah kebawah? Menyewa fotografer? Tentu membutuhkan uang yang tidak sedikit. Belum tentu juga berkas pengajuannya dapat diterima. Kalaupun di terima, ia harus berpikir lagi, jika ia mendapat uang saku Rp600.000,00 sebulan apakah cukup untuk biaya hidupnya di kota besar tempat universitas itu berdiri? Tentu tidak. Banyak anak-anak cerdas dengan motivasi tinggi akhirnya memupuskan harapan untuk dapat kuliah. Sehingga setiap tahun di sebagian besar universitas yang mendapat jatah subsidi bidik misi tersebut memiliki kursi bidik misi yang tidak terisi. Adapun yang mendapatkan beasiswa itu belum tentu sesuai yang di harapkan.
Dari sudut pandang yang berbeda, banyak orang-orang yang ber-ada malah dengan entengnya “membeli” gelar sarjana yang seharusnya di peroleh dengan kerja keras. Kasus-kasus pemalsuan ijazah mulai bermunculan mulai dari golongan pejabat hingga calon pegawai negeri sipil. Hal yang tak jauh berbeda kebusukannya terjadi saat seleksi penerimaan mahasiswa baru PTN. Jasa joki begitu marak beredar. Sehingga sudah menjadi rahasia umum, para orang-orang berduit bisa membeli paket soal berharga puluhan juta rupiah dengan harapan bisa masuk di fakultas atau universitas idaman seperti Fakultas Kedokteran, meskipun dengan cara yang haram. Salah satu dampaknya, saat ini sudah begitu banyak dokter yang dengan kemampuan minim langsung terjun ke lapangan. Malapraktik menjadi akibat fatal yang merugikan banyak pihak bahkan mengancam nyawa. Sebegitu agungkah materi yang bernama uang itu hingga mampu melumpuhkan otak-otak cerdas anak bangsa yang seharusnya lebih berhak atas pendidikan?
Kekecewaan lain tentu dirasakan oleh para siswa yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi lagi. Bagaimana tidak? Ujung pangkal dari kuliah selain menuntut dan memperdalam ilmu adalah mendapatkan pekerjaan yang layak. Ironisnya, sebagian besar perusahaan-perusahaan lebih membutuhkan tenaga kerja dengan pendidikan minimal sarjana atau diploma. Sedangkan lulusan SMA sebagaian besar hanya di terima menjadi pekerja kasar, buruh atau apapun pekerjaan yang tidak membutuhkan skill khusus. Lapangan kerja pun belum mampu menampung para tenaga kerja tersebut. Lulusan dari perguruan tinggi saja tidak kurang dari 2 juta lulusan yang menjadi pengangguran intelektual.
Menurut bapak Anies Baswedan, Ph.D yang dikutip dalam Majalah Fellowship 2010 mengatakan bahwa, “Pendidikan tinggi di Indonesia memainkan peran sebagai eskalator sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Dalam beberapa dekade terakhir ini, anak-anak muda yang mengalami pendidikan tinggi mendapatkan peluang untuk meraih masa depan yang lebih cerah. Pendidikan yang di peroleh selama kuliah membukakan pintu-pintu peluang yang sulit untuk di raih jika hanya mengandalkan pendidikan menengah”.
Namun, bagaimana cara anak muda tersebut mendapatkan peluang untuk meraih masa depan yang lebih cerah jika keadaan di negeri ini tidak banyak mendukung mereka untuk dapat berkembang lebih optimal? Perlu adanya perhatian lebih dari pemerintah untuk melihat kemampuan dan motivasi para tunas-tunas bangsa dalam menuntut ilmu. Program beasiswa bidik misi perlu aksi yang lebih proaktif dari pemerintah langsung tanpa memberatkan para calon penerima. Selain itu, para pemuda juga haruslah lebih semangat dalam menatap masa depan dan melepaskan diri dari keterkungkungan yang dialami. Para perusahaan-perusahaan baik negeri maupun swasta pun harus meningkatkan kepeduliannya dalam membangun para generasi penerus harapan bangsa.
Seperti kata bapak pendidikan Nasional, Ki Hajar Dewantara bahwa, “Pendidikan bukanlah tanggung jawab guru, tapi pendidikan adalah tanggung jawab orang yang telah mengenyam pendidikan”. Artinya, siapapun bisa untuk memajukan pendidikan Indonesia. Saat ini banyak bermunculan organisasi-organisasi kepemudaan yang melakukan aksi pengajaran oleh para pemuda yang ingin membagikan ilmunya kepada anak-anak yang membutuhkan. Sebagai contoh “Gerakan Pengajar Keren SSC” yang dilaksanakan oleh Save Street Child (SSC) Movement Community. Ada juga “Gerakan Peduli Anak untuk Negeri” yang dilaksanakan oleh Bakrie untuk Negeri. Wadah-wadah seperti ini menunjukkan masih ada pemuda-pemudi yang sadar dan peduli terhadap lingkungannya. Walaupun kita masih menempuh pendidikan sampai tingkat SMA, namun kita juga dapat berbagi pengalaman pendidikan kepada anak-anak yang juga ingin merasakan nikmatnya bangku sekolah. Sehingga kita pun dapat memberikan kontribusi bagi pemenuhan kebutuhan pendidikan bagi anak yang kurang mampu. Maka terjadilah hubungan timbal balik saling melengkapi demi kesejahteraan negeri ini.
Terakhir penulis ingin mengutip kata-kata bijak dari bapak bangsa Nurcholis Madjid atau Cak Nur bahwa, “Keberhasilan suatu pekerjaan, apalagi yang besar dan berat, sebagian tergantung kepada seberapa kuat motivasi kita. Jadi, dengan nafsu yang mendapat rahmat Allah itu kita memiliki motivasi yang kuat untuk berbuat baik. Orang-orang yang berhenti belajar akan menjadi pemilik masa lalu. Orang-orang yang masih terus belajar, akan menjadi pewaris masa depan”. Optimislah wahai pemuda demi kejayaan pandu pertiwi. Maju terus negeriku Indonesia!

Tidak ada komentar: