Selasa, 06 November 2012



Menjaring Matahari
Satu hal dimuka bumi yang bagiku begitu besar adalah matahari. Ia mampu menjangkau seluruh tempat, memberikan kehangatan meskipun terkadang menimbulkan sedikit kesengsaraan.
Pagi itu mentari begitu angkuh di ufuk timur. Semilir angin mengiringi langkah menyusuri setapak menuju sebuah kampus kecil, tempat mengais ilmu. Kecil namun begitu hebat bagi kehidupanku. Gedung pencakar langit disisi kiri kanan bak pagar ayu yang mengiring. Suasana yang jauh berbeda dari kota asalku.
Ya, kini aku telah menginjakkan kaki di Jakarta. Kota metropolitan dengan sekelumit aktivitas. Tempat jutaan orang menggantungkan hidup. Tempat yang awalnya asing bagiku, bagai hutan rimba dengan jutaan "singa" yang siap menerkam kapan saja. Tempat yang menampung orang terkaya hingga termiskin sekalipun, mewadahi beraneka ras berjuta karakter. Pusat kriminalitas, orang berotak bulus yang menyengsarakan, hingga anak-anak berpisau yang menggertak. Namun di tempat ini pula aku menemukan kemandirian, serta kebebasan tiada tara. Mungkin hanya Tuhan yang dapat membatasi gerak-gerikku akan nafsu di tempat ini. Dan inilah yang menjadi salah satu alasan kenapa aku memutuskan untuk terus berjuang di kota ini.
Bermula dari mimpiku untuk meneruskan pendidikan tanpa membebankan kedua orang tua. Bagaimana tidak? Bapakku seorang PNS di lingkup pemerintah kabupaten yang bergaji pas-pasan dan ibu yang hanya mengurus rumah tangga. Aku dibesarkan di sebuah kontrakan gubuk kayu beratapkan daun nipah selama 13 tahun. Lalu berpindah-pindah dari satu rumah keluarga ke rumah keluarga lainnya. Cibiran penuh sinis dan meremahkan sayup-sayup pernah terdengar dari mulut bibiku sendiri. Tapi itu hanya ingatan masa kecil nan lugu.
Untuk mencicipi bangku sekolah pun tak lepas dari liku yang menantang. Pernah suatu ketika aku mengikuti tes masuk salah satu SMA terbaik di kotaku. Betapa senangnya ketika mendapatkan telepon bahwa aku lulus tes tersebut. Tapi di tengah ekspresi kegembiraan itu, ibu dengan pasrah hanya berkata, “Tidak usah terlalu senang nak. Kita orang susah, mana mungkin bisa membiaya sekolahmu disana”. Bagai kilatan petir seketika, kulihat mata itu berkaca-kaca. Kutahu ia berat mengungkapkannya, kalimat yang dapat menghancurkan masa depan anaknya sendiri hanya karena uang. Aku ingin berontak pada keadaan. Tapi apa daya, inilah keadaan yang harus dihadapi. Hanya pasrah pada Sang Sutradara langit.
Sehari dua hari Bapak belum mendapatkan uang untuk membayar biaya registrasi ulang itu. Aku pun memutuskan untuk mendaftarkan diri saja di sekolah gratis. Memang berat saat itu, namun harus kujalani. “Belajar tak harus di sekolah unggulan” gumamku.
Ketika sudah didepan loket pendaftaran, tiba-tiba langkah terhenti. Bapak memberitahukan, “Tak usah lagi nak. Bapak sudah mendapatkan pinjaman dari tantemu”. Betapa bersyukurnya aku. Hingga akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikanku di sekolah unggulan tersebut.
16 Mei 2011, aku dinyatakan lulus SMA. Namun belum juga mendapatkan tempat kuliah yang sesuai dengan kondisi saat itu. Beberapa universitas bahkan menawarkan program bebas tes. Namun lagi-lagi aku tak ingin memperparah ekonomi keluarga.
Pernah sebuah universitas negeri menawarkanku jalur berprestasi bebas tes dengan membayar biaya awal sekitar 25 juta. Bapak dengan wajah penuh simpati, antara memikirkan masa depan anaknya atau terkungkung oleh keadaan yang tidak ber-ada. “Maafkan Bapak nak. Kalau uang segitu Bapak tak mampu memenuhinya”. Lalu semua bisu. Hal yang telah kuduga sebelumnya. Sempat terlintas dibenakku, “Sebegitu parah kah sehingga segala sesuatu harus dengan uang. Kemana pemerintah yang menjamin hak rakyatnya? Kemana pula para orang kaya yang berfoya-foya tanpa memikirkan orang dibawahnya?”.
Sudahlah. Tak usah berlama-lama meratapi keadaan. Akupun mencoba mencari jalan keluar. “Aku harus menggapai mimpiku, melanjutkan pendidikanku dan menjadi orang sukses yang bermanfaat bagi orang lain”, tekadku bulat.
Hingga suatu hari aku dipertemukan dengan seorang kakak senior di sekolah bahwa ada sebuah kampus yang menawarkan program beasiswa dan biaya hidup. Segera ku kumpulkan semua informasi sebanyak-banyaknya. Mencoba memenuhi semua syarat yang diperlukan, dengan keyakinan, “Aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Jika tidak, masa depanku bisa saja tak tentu arah. Aku akan menunjukkan bahwa aku bisa menjadi Agent of Change masa depan”.
Tahap II interview berusaha ku lewati, dengan mantap berkata didepan cermin, “Aku pantas mendapatkan ini. Hari ini adalah hari terbaikku”. Kuceritakan segala pengalaman hidup yang kualami dengan menggebu-gebu, meyakinkan tim panel bahwa mereka tidak akan salah memilihku.
15 Juli 2012, setelah menunaikan shalat maghrib, aku menuju ke warnet yang cukup jauh dari rumahku. Tanpa pamit ke orangtua, karena takut hasil yang tidak diharapkan membuat mereka sedih memikirkan masa depanku. Ini adalah jalan terakhir untuk mengenyam pendidikan seperti yang kudambakan.
Kubuka situs pengumuman dengan penuh keraguan. Segala pikiran menggelayut dalam batin. Takut membuat orangtuaku kecewa untuk kesekian kalinya. Apalagi status yang kuemban sebagai lulusan sekolah terbaik didaerahku. Aku memutuskan untuk menunda melihat pengumumannya dahulu. Kucoba tenangkan pikiran dengan membuka situs-situs hiburan lain. Tapi tetap saja batinku berkecamuk.
Bismillahirrahmanirrahim, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka pengumuman. Aku mencari diantara deretan nama-nama orang-orang beruntung itu. Susah payah kugerakkan kursor kebawah.
Subhanallah. Tiba-tiba angin menyapa, dedaunan terdiam seolah haru melihat kejadian yang terjadi malam itu. Namaku ada dideretan penerima Paramadina Fellowship 2011. Lantunan tahmid, tahlil dan takbir tak henti-hentinya aku lafadzkan. Segera aku kembali ke rumah dan mengabarkan kepada bapak ibu. Linangan air mata haru memenuhi langit-langit rumah. Ternyata Tuhan Maha Adil. Ia tahu yang terbaik bagi umat-Nya.
Penerima Paramadina Fellowship 2011
Aku kini menyandang predikat sebagai mahasiswa, dengan tidak membebankan orangtua. Aku dapat berteriak pada dunia, bahwa orang miskin bisa sekolah selama kita masih mempunyai mimpi dan ingin berusaha. Satu hal lagi, ternyata masih banyak orang kaya yang masih peduli. Selama manusia memiliki hati, selama itu pula ia tak akan berhenti untuk melihat sekelilingnya.
Matahari memang besar, namun jaring-jaringku jauh lebih besar untuk menaklukkannya, kunamakan jaring mimpi. Jalan hidup masih panjang. Masih banyak rintangan di depan, tapi aku akan terus menjaring matahari. :D


Tidak ada komentar: