Menjaring Matahari
Satu hal dimuka bumi
yang bagiku begitu besar adalah matahari. Ia mampu menjangkau seluruh tempat,
memberikan kehangatan meskipun terkadang menimbulkan sedikit kesengsaraan.
Pagi itu mentari begitu angkuh di
ufuk timur. Semilir angin mengiringi langkah menyusuri setapak menuju sebuah
kampus kecil, tempat mengais ilmu. Kecil namun begitu hebat bagi kehidupanku.
Gedung pencakar langit disisi kiri kanan bak pagar ayu yang mengiring. Suasana
yang jauh berbeda dari kota asalku.
Ya, kini aku telah menginjakkan kaki di Jakarta. Kota metropolitan
dengan sekelumit aktivitas. Tempat jutaan orang menggantungkan hidup. Tempat
yang awalnya asing bagiku, bagai hutan rimba dengan jutaan "singa"
yang siap menerkam kapan saja. Tempat yang menampung orang terkaya hingga
termiskin sekalipun, mewadahi beraneka ras berjuta karakter. Pusat
kriminalitas, orang berotak bulus yang menyengsarakan, hingga anak-anak
berpisau yang menggertak. Namun di tempat ini pula aku menemukan kemandirian,
serta kebebasan tiada tara. Mungkin hanya Tuhan yang dapat membatasi
gerak-gerikku akan nafsu di tempat ini. Dan inilah yang menjadi salah satu
alasan kenapa aku memutuskan untuk terus berjuang di kota ini.
Bermula dari mimpiku untuk meneruskan pendidikan tanpa membebankan
kedua orang tua. Bagaimana tidak? Bapakku seorang PNS di lingkup pemerintah
kabupaten yang bergaji pas-pasan dan ibu yang hanya mengurus rumah tangga. Aku
dibesarkan di sebuah kontrakan gubuk kayu beratapkan daun nipah selama 13
tahun. Lalu berpindah-pindah dari satu rumah keluarga ke rumah keluarga
lainnya. Cibiran penuh sinis dan meremahkan sayup-sayup pernah terdengar dari
mulut bibiku sendiri. Tapi itu hanya ingatan masa kecil nan lugu.
Untuk mencicipi bangku sekolah pun tak lepas dari liku yang
menantang. Pernah suatu ketika aku mengikuti tes masuk salah satu SMA terbaik
di kotaku. Betapa senangnya ketika mendapatkan telepon bahwa aku lulus tes
tersebut. Tapi di tengah ekspresi kegembiraan itu, ibu dengan pasrah hanya
berkata, “Tidak usah terlalu senang nak. Kita
orang susah, mana mungkin bisa membiaya sekolahmu disana”. Bagai kilatan
petir seketika, kulihat mata itu berkaca-kaca. Kutahu ia berat
mengungkapkannya, kalimat yang dapat menghancurkan masa depan anaknya sendiri
hanya karena uang. Aku ingin berontak pada keadaan. Tapi apa daya, inilah
keadaan yang harus dihadapi. Hanya pasrah pada Sang Sutradara langit.
Sehari dua hari Bapak belum mendapatkan uang untuk membayar biaya
registrasi ulang itu. Aku pun memutuskan untuk mendaftarkan diri saja di
sekolah gratis. Memang berat saat itu, namun harus kujalani. “Belajar tak harus di sekolah unggulan”
gumamku.
Ketika sudah didepan loket pendaftaran, tiba-tiba langkah
terhenti. Bapak memberitahukan, “Tak usah
lagi nak. Bapak sudah mendapatkan pinjaman dari tantemu”. Betapa bersyukurnya
aku. Hingga akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikanku di sekolah unggulan
tersebut.
16 Mei 2011, aku dinyatakan lulus
SMA. Namun belum juga mendapatkan tempat kuliah yang sesuai dengan kondisi saat
itu. Beberapa universitas bahkan menawarkan program bebas tes. Namun lagi-lagi
aku tak ingin memperparah ekonomi keluarga.
Pernah sebuah universitas negeri menawarkanku jalur berprestasi
bebas tes dengan membayar biaya awal sekitar 25 juta. Bapak dengan wajah penuh
simpati, antara memikirkan masa depan anaknya atau terkungkung oleh keadaan
yang tidak ber-ada. “Maafkan Bapak nak.
Kalau uang segitu Bapak tak mampu memenuhinya”. Lalu semua bisu. Hal yang
telah kuduga sebelumnya. Sempat terlintas dibenakku, “Sebegitu parah kah sehingga segala sesuatu harus dengan uang. Kemana
pemerintah yang menjamin hak rakyatnya? Kemana pula para orang kaya yang
berfoya-foya tanpa memikirkan orang dibawahnya?”.
Sudahlah. Tak usah berlama-lama meratapi keadaan. Akupun mencoba
mencari jalan keluar. “Aku harus
menggapai mimpiku, melanjutkan pendidikanku dan menjadi orang sukses yang
bermanfaat bagi orang lain”, tekadku bulat.
Hingga suatu hari aku dipertemukan dengan seorang kakak senior di
sekolah bahwa ada sebuah kampus yang menawarkan program beasiswa dan biaya
hidup. Segera ku kumpulkan semua informasi sebanyak-banyaknya. Mencoba memenuhi
semua syarat yang diperlukan, dengan keyakinan, “Aku harus memanfaatkan kesempatan ini. Jika tidak, masa depanku bisa saja
tak tentu arah. Aku akan menunjukkan bahwa aku bisa menjadi Agent of Change
masa depan”.
Tahap II interview berusaha ku lewati, dengan mantap berkata
didepan cermin, “Aku pantas mendapatkan
ini. Hari ini adalah hari terbaikku”. Kuceritakan segala pengalaman hidup
yang kualami dengan menggebu-gebu, meyakinkan tim panel bahwa mereka tidak akan
salah memilihku.
15 Juli 2012, setelah menunaikan shalat maghrib, aku menuju ke
warnet yang cukup jauh dari rumahku. Tanpa pamit ke orangtua, karena takut hasil
yang tidak diharapkan membuat mereka sedih memikirkan masa depanku. Ini adalah
jalan terakhir untuk mengenyam pendidikan seperti yang kudambakan.
Kubuka situs pengumuman dengan penuh keraguan. Segala pikiran
menggelayut dalam batin. Takut membuat orangtuaku kecewa untuk kesekian
kalinya. Apalagi status yang kuemban sebagai lulusan sekolah terbaik
didaerahku. Aku memutuskan untuk menunda melihat pengumumannya dahulu. Kucoba
tenangkan pikiran dengan membuka situs-situs hiburan lain. Tapi tetap saja
batinku berkecamuk.
Bismillahirrahmanirrahim, akhirnya kuberanikan diri untuk membuka pengumuman. Aku mencari
diantara deretan nama-nama orang-orang beruntung itu. Susah payah kugerakkan
kursor kebawah.
Subhanallah. Tiba-tiba angin menyapa, dedaunan terdiam seolah haru melihat
kejadian yang terjadi malam itu. Namaku ada dideretan penerima Paramadina
Fellowship 2011. Lantunan tahmid, tahlil dan takbir tak henti-hentinya aku
lafadzkan. Segera aku kembali ke rumah dan mengabarkan kepada bapak ibu. Linangan
air mata haru memenuhi langit-langit rumah. Ternyata Tuhan Maha Adil. Ia tahu
yang terbaik bagi umat-Nya.
Penerima Paramadina Fellowship 2011 |
Aku kini menyandang predikat sebagai mahasiswa, dengan tidak
membebankan orangtua. Aku dapat berteriak pada dunia, bahwa orang miskin bisa
sekolah selama kita masih mempunyai mimpi dan ingin berusaha. Satu hal lagi, ternyata
masih banyak orang kaya yang masih peduli. Selama manusia memiliki hati, selama
itu pula ia tak akan berhenti untuk melihat sekelilingnya.
Matahari memang besar, namun jaring-jaringku jauh lebih besar
untuk menaklukkannya, kunamakan jaring mimpi. Jalan hidup masih panjang. Masih
banyak rintangan di depan, tapi aku akan terus menjaring matahari. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar