Rabu, 28 Agustus 2013

Dia, Bapak kami..

Saya sangat terdorong untuk menulis ini karena tergerak akan respon negatif yang dilontarkan oleh segelintir orang terhadap isu keikutsertaan dan pencapresan Bapak Anies Baswedan. Dan Bismillah, saya mulai cerita ini tanpa paksaan apapun..

Ketika pertama kali mendengar berita pencapresan beliau, jujur saya juga masih rada kurang setuju. Bukan karena saya tidak percaya pada elektabilitas dan kemampuan beliau, tapi murni saya masih belum rela bila beliau harus melepas jabatan sebagai Rektor di kampus kami tercinta, Universitas Paramadina.


Saya kemudian teringat peristiwa yang terjadi kemarin sore. Dan disinilah kebanggaan itu muncul.

Waktu itu, saat dimana kami, Paramadina Choir (UKM Paduan Suara di Univ. Paramadina), akan mengikuti salah satu kompetisi International di Vietnam. Segala upaya kami lakukan untuk mewujudkan mimpi kami itu. Mulai dari menyebar proposal ke sponsor, jualan hingga ngamen ke lapak-lapak sepanjang Barito-Blok M. Segala usaha itu kami lakukan apalagi kalau bukan untuk mengumpulkan receh demi receh membayar kursi kami di kompetisi International ini.
Hingga suatu hari, saya (saat itu selaku penanggung jawab dan Ketua Umum Paramadina Choir) berada di suatu titik yang seolah buntu. Saat dimana saya merasa ada tembok penghalang begitu tebal menghalangi tepat di depan, belakang, samping dan atas tubuh saya. Saat itu jujur saya tak tahu lagi harus berbuat apa dengan segala masalah dan tuntutan untuk melunasi biaya keberangkatan kami.

Dan hari itu juga saya dipanggil oleh bapak Anies (selaku Rektor kami) untuk menanyakan segala persiapan kami. Dan saya pun tanpa malu mengutarakan segala kegundahan tim kami.

Dengan tenang beliau meyakinkan kami dan sedikit berpikir beberapa detik. Lalu menghubungi salah satu rekan beliau. Satu tembok terpecahkan. Kami mendapat bantuan salah satu sponsor. Rasa haru menyelimutiku dan rekanku saat itu. Ingin meluapkan dengan tangis, tapi malu sama pak Rektor.
Beliau kemudian memberikan solusi-solusi lain. Dan semua beban serasa lepas begitu saja, bahkan saya merasa terbang bebas.
Beberapa hari kemudian kami terus mengagendakan untuk bertemu sekedar menanyakan perkembangan. Dan yang saya salutkan lagi, ditengah kesibukannya beliau masih ingin berbagi dan menampung kegelisahan kami. Beliau masih ingin menjadi ayah kami.

Begitu banyak hal yang saya peroleh selama masa-masa itu. Selain kekaguman bahwa beliau masih ingin memberikan waktunya bagi kami. Beliau juga tak pernah sedikitpun kata negatif atau merendahkan mimpi kami tersebut. Maklum saat itu pertama kalinya kami Go International. Padahal begitu banyak cibiran negatif yang merendahkan kami, baik dari pemerintahan, dosen, teman dan semua tekanan yang kami jadikan motivasi itu. Tapi pak Rektor kami ini beda. Dia dengan tatapan penuh keyakin terus menularkan semangat positif kepada kami, bahwa kami bisa melewati ini. Selain itu dari semua pertemuan, beliau selalu dan selalu saja mengaitkan pembicaraan kami dengan kecintaan terhadap bangsa, bangsa dan bangsa. Kami, beliau dan Anda harus melakukan semua usaha juga karena ingin mengharumkan nama bangsa.


Pernah suatu ketika, saat dimana hanya saya dan Pak Anies saja berdua di dalam lift mengantar beliau setelah konser gelar pamit kami. Dan masih dengan tatapan penuh keyakinan itu, beliau berkata "Bagaimana? Kamu sudah tau arti perjuangan itu?" 

Aku hanya bisa terdiam sejenak, dan membalas menatap "Iya pak. Inilah yang bapak ajarkan itu" ujarku.
"Yah. Inilah perjuangan. Kamu akan begitu merasakan kemenangan saat kamu berhasil melewati ini. Coba saja kalau sejak awal kamu tidak berani melewati ini. Tapi kamu sudah berhasil sampai ke titik puncak". Jelas beliau.
"Iya betul pak. Dan saat ini saja saya sudah merasakan arti perjuangan itu". Sahutku.

Cerita ini tidak berhenti sampai disitu saja. 

Ujian kembali menghampiri kami saat keberangkatan. Yaah, saat keberangkatan kami pun masih ada-ada saja ujian yang menghampiri kami.
Saat itu kelompok kedua dari kami transit di Singapura. Memang dasar ini pengalaman pertama kali kami terbang keluar negeri, kami tidak memahami sistematika yang mengharuskan kami harus re-chek in.
30 menit sebelum keberangkatan. Kami baru saja istirahat dan mengisi perut sejenak. Langsung menuju gate keberangkatan. Kami mengira chek in ulang baru dilakukan di gate tersebut. Ternyata kami ditahan, karena keliru tidak melakukan chek in awal. Bayangkan saja, seolah kami sudah ada di pintu gerbang mimpi kami yang tinggal selangkah, tapi kami harus tertahan hanya karena masalah yang kami sendiri pun kurang paham.
Pesawat belum lepas landas. Secuil harapan itu masih ada. Segera kami dibantu Ibu Melody, manager Bandara Changi Singapura, untuk menghubungi manager TA (inisial maskapi yang kami gunakan). Tapi ternyata manager TA bersikukuh menyatakan kesalahn dipihak kami dan kami sudah tidak bisa menaiki pesawat tersebut. Dengan air mata yang juga terus menangis, manager Bandara Changi terus mendesak pihak TA. Tapi apa daya, pesawat telah terbang. Harapan itu sirna. 
Sempat terpikir oleh kami, "Apakah sampai disini saja?". Karena kami sudah tidak tahu harus mendapatkan uang sebanyak 20-30 juta untuk memesan tiket baru menuju Ho Chi Minh Vietnam. Semua peserta kelompok 2 ,yang saat itu berjumalh 9 orang, menangis sejadi-jadinya tanpa terkecuali. Juga tampak seorang pendeta ikut memimpin dan mendoakan kelancaran bagi kami. Dan kami sadari bahwa segala hal positif itu tidak harus memandang agama. 

Lalu terpikir untuk menelepon salah seorang yang juga membantu kami, Ibu Pratiwi. Tapi karena sesuatu dan lain hal beliau tidak dapat membantu kami saat itu. Akhirnya kami nekad menghubungi Pak Anies Baswedan, Rektor kami. Karena kami pikir siapa lagi yang dapat kami tempati mengadu kesedihan kami ini.

Dan mungkin karena ikatan bathin, Pak Anies, yang biasanya jarang mengangkat telepon jika nomor asing. Tapi saat itu beliau akhirnya mengangkat telpon kami. Kami menceritakan semua kejadian ini, dan beliau ingin berbicara dengan pihak Manager Bandara Changi. Entah apa yang mereka obrolkan, telpon kembali di tangan kami.
Tanpa basa basi, beliau memberikan akun serta password kartu kredit beliau. Lalu segera melunasi tiket kami untuk 9 orang itu dari Singapura ke Ho Chi Minh, Vietnam.
Rasa haru kembali menyelimuti kami. Beliau terus menenangkan kami dan kami akhirnya sampai ke Vietnam.
Dengan segala motivasi inilah, akhirnya kami berhasil meraih 2 Medali Emas di kedua kategori yang kami ikuti, sekaligus menjadi Winner of Mixed Choir Category dan sempat masuk babak Choir Prize (5 besar). Benar-benar pejuangan luar biasa bagi kami.

Sepulang ke tanah air, saya kembali menemui Bapak Anies Baswedan dan segera ingin melepas rasa penasaran saya, "Kok bapak mau sih memberikan kami akun kartu kredit itu beserta passwordnya tanpa ragu. Padahal kan bisa saja kami salahgunakan itu?" desakku.

Lalu dengan matang dan masih dengan tatapan penuh keyakinan beliau menjawab, "Yah inilah KEPERCAYAAN TANPA SYARAT".

Ternyata beliau masih bapak kami. Bapak yang masih bertanggungjawab terhadap masalah yang dihadapi anak-anaknya. Bapak yang tidak ingin memanjakan anak-anaknya, namun lebih ingin mengajarkan kepada kami arti perjuangan. Bapak yang terus berbuat untuk bangsa. Bapak yang memberikan dan mengajarkan kami ketulusan dan kepercayaan tanpa syarat.


Dan saya berani menantang orang-orang yang menjelek-jelekkan beliau tanpa tahu seperti apa beliau sebenarnya.


Oiya kini saya menyimpulkan, bahwa bukan masalah waktu atau usia, tapi beliau memang sangat dibutuhkan negeri ini. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?


Terima kasih bapak kami, Rektor kami tercinta, Bapak Anies Baswedan Ph.D 


Mampang, 29 Agustus 2013. Pukul 01.28 WIB.

Muhammad Fadly

1 komentar:

Unknown mengatakan...

wooww.. pengalaman yang menarik sekali lally :D